Rabu, 24 April 2013

pandangan dunia jawa



MAKALAH
PANDANGAN DUNIA JAWA
Dipresentasikan dalam Mata Kuliah
Islam dan Kebudayaan Jawa
Yang diampu oleh : M. Rikza Chamami, MSI

 









Disusun Oleh :
Firdha Naili Fitriyani                    ( 123311017 )
Iftitahul Hidayah                          ( 123311021 )
Min Khatul Maula                        ( 123311026 )
Muhammad Ali Riza Sihbudi       ( 123311029 )


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I.          PENDAHULUAN
Jawa memang sudah lekat dengan ragam tradisi unik yang melingkupi kehidupan masyarakatnya. Bahkan, meski kini zaman sudah berkembang dengan pesat, tradisi-tradisi yang melekat dalam kehidupan masyarakat Jawa sejak zaman nenek moyang dahulu masih tetap dipertahankan. Tradisi-tradisi masyarakat Jawa lekat dengan tradisi Hindu-Budha yang notabene pernah menjadi agama yang paling banyak dipeluk oleh masyarakat Jawa kuno. Namun, tradisi-tradisi tersebut sudah mengalami akulturasi seiring masuknya agama Islam ke tanah Jawa. Hal tersebut dapat terjadi karena ajaran Islam telah mengatur segala jenis sendi-sendi kehidupan manusia, sehingga tradisi-tradisi Jawa warisan nenek moyang yang berbau syirik atau tidak sesuai dengan ajaran Islam mengalami sedikit modifikasi.
Selain tradisi yang unik, masyarakat Jawa juga mempunyai kepercayaan dan pandangan hidupnya sendiri. Kepercayaan dan pandangan hidup orang Jawa ini terkadang juga masih lekat dengan kepercayaan dan pandangan hidup  nenek moyang mereka dahulu yang berbau agama Hindu-Budha. Misalnya, banyak masyarakat yang mempercayai bahwa penguasa pantai selatan Jawa adalah Nyai Roro Kidul. Masyarakat Jawa juga lekat dengan kepercayaannya terhadap hal-hal yang berbau mitos dan mistisme. Seperti halnya percaya bahwa ada kekuatan ghaib di dalam sebuah keris.
Dalam hal pandangan hidup, masyarakat Jawa juga memiliki pedoman sendiri. Masyarakat Jawa sangat mudah percaya dengan nasehat-nasehat orang-orang terdahulu. Orang Jawa sejak dahulu kala telah mewariskan ajaran-ajaran luhur untuk pembinaan budi pekerti. Para Raja, bangsawan dan rakyat jelata, telah menjadikan ajaran-ajaran itu sebagai pedoman hidup sehari-hari. Bahkan, orang Jawa yang tetap berpegang teguh terhadap pedoman-pedoman tersebut ada yang menjadi tokoh penting di Indonesia, yaitu mantan presiden Republik Indonesia yang kedua, Soeharto.
Dengan segala keunikannya, masyarakat Jawa tumbuh dan berkembang mengikuti arus perkembangan zaman tanpa meninggalkan tradisi dan pedoman hidup yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya dahulu. Untuk mengetahui lebih dalam tentang pandangan masyarakat Jawa dalam mengarungi kehidupan sehari-hari mereka, kami mencoba menyusun sebuah makalah dengan judul “Pandangan Dunia Jawa”. Sedikit banyak kami mencoba menyinggung tentang tradisi, kepercayaan, dan pandangan hidup masyarakat Jawa dalam kehidupan sehari-hari mereka.

II.       RUMUSAN MASALAH
A.       Apa saja tradisi masyarakat Jawa?
B.       Apa kepercayaan masyarakat Jawa?
C.       Apa saja etika-etika masyarakat Jawa dalam kehidupan sehari-hari?
D.       Bagaimana pandangan hidup masyarakat Jawa?

III.    PEMBAHASAN
A.       Tradisi Masyarakat Jawa
Menurut kamus bahasa Indonesia, kata tradisi berarti adat kebiasaan yang turun temurun.[1]
Macam-Macam Tradisi Jawa :
1.        Bentuk Selametan / Sedekah
Kata ‘sedekah’ dengan istilah lain ‘sodaqoh’ yang bermakna berderma atau  memberikan sesuatu (biasanya berupa barang) kepada pihak lain karena tendensi kemanusiaan, seperti iba, peduli, atau agar tercipta keakraban antar sesama.
a.         Sedekah bumi
Sedekah bumi merupakan aktivitas budaya yang dilaksanakan masyarakat (khususnya masyarakat pedesaan) yang dilaksanakan setahun sekali atau setiap terjadi peristiwa yang tidak menyamankan kehidupan sosialnya. Sepeti musibah berupa penyakit yang diderita warga atau wabah hama tanaman. Munculnya kata ’bumi’ diidentikkan dengan pelaksanaan ritual budaya yang bernuansa agamis karena mensyukuri anugerah Ilahi yang bersumber dari hasil bumi, aktivitas yang bergantung keramahan bumi (alam) atau panen hasil peternakan. Seperti pascapanen tanaman atau menjelang panen. Sedekah bumi dilaksanakan masyarakat yang berpenghasilan sebagai petani, petani dan pelaut, petambak, dan petambak yang juga petani.
b.        Sedekah laut
Sedekah laut identik dengan aktifitas budaya yang dilakukan warga masyarakat yang berpenghasilan dan atau berprofesi sebagai pelaut. Lazimnya pelaksanaan sedekah laut menjelang musim panen laut (berdasarkan prediksi pelaut) atau pascapanen hasil laut. Ada juga sedekah laut disertakan bersama peringatan wafatnya tokoh desa atau tetua adat desa. Munculnya pelaksanaan sedekah laut dengan pertimbangan, pertama, ungkapan syukur kepada Tuhan yang menganugerahi sumber kehidupan dari laut. Kedua, permisi (ungkapan izin) sebagai bentuk interaksi dengan sesama penghuni laut agar tercipata keselamatan selama mengais rizki di laut agar tidak diusik kenyamanannya. Penunggu laut dalam konteks ini diyakini oleh pelaut bahwa hamparan laut tidak hanya dihuni pelaut dalam mengais rizki, tetapi juga dihuni makhlus halus. Agar interaksi antara pelaut dengan penghuni lainnya tercipta interaksi (yang tidak kasat mata) secara harmonis, maka sedekah laut dijadikan mediasi (perantara) keakraban secara psikis dan tidak langsung antara penguasa laut (Tuhan), penghuni laut (makhluk gaib), komunitas laut (makhluk alam laut), dan pengais rizki dari laut (nelayan).
Adapun pernik-pernik yang disertakan dalam prosesi larung sesaji diantaranya adalah kepala kerbau yang menyimbolkan keperkasaan (kepala) dan ‘dihadiahkan’ kepada ‘penghuni’ laut sebagai bentuk interaksi simbolik.
2.        Selametan siklus kehidupan
Selametan siklus kehidupan meliputi kelahiran bayi, pasca kelahiran bayi berupa mengubur ari-ari atau tali pusat (placenta), kematian, fase kehidupan bayi (penguburan ari-ari/placenta),menindik telinga dan pasang anting-anting anak perempuan, dan perkawinan.[2]
a.         Ngapati (Ngupati)
Saat janin (embrio) berusia 120 hari (atau 4 bulan) dimulailah kehidupan dengan ruh, dan saat inilah ditentukan bagaimana ia berkehidupan selanjutnya, di dunia sampai di akhirat : “Ditentukan rezekinya, ajalnya, langkah-langkah prilakunya, dan sebagai orang yang celaka atau orang yang beruntung”.
Maka menyongsong penentuan ini, hendaklah diadakan upacara ngapati (ngupati) yaitu berdoa (sebagai sikap bersyukur, ketundukan dan kepasrahan); mengajukan permohonan kepada Allah agar nanti anak lahir sebagai manusia yang utuh sempurna, yang sehat, yang dianugerahi rizki yang baik dan lapang, berumur panjang yang penuh dengan nilai-nilai ibadah, beruntung di dunia dan di akhirat. Begitu pula hendaklah bersedekah. Kita ketahui bahwa doa dan sedekah adalah dua kekuatan yang bisa menembus takdir.
b.        Mitoni (Tingkepan)
Setelah kehamilan berusia sekitar 7 (tujuh) bulan, yaitu ketika kandungan dirasakan sudah berbobot dan berbeban, maka diadakan lagi upacara yang biasa disebut mitoni atau tingkepan. Dalam upacara mitoni (tingkepan) ini disamping bersedekah juga diisi pembacaan doa, dengan harapan si bayi dalam kandungan diberikan keselamatan serta ditakdirkan selalu dalam kebaikan kelak di dunia.[3]
c.         Menindik telinga dan pasang anting anak perempuan
Menindik telinga dan memberi anting bagi anak perempuan pada usia bayi (balita) menjadi tradisi universal. Penentuan usia bayi ditindik tidak sama setiap individu atau daerah, biasanya disertakan ketika prosesi potong puser (puputan) dengan tujuan membedakan identitas asesoris bahwa perempuan identik dengan asesoris tertentu, jika asesoris tertentu tersebut dikenakan pada laki-laki maka dianggap menyimpang tradisi.
Prosesi menindik dan beranting ini merupakan aktifitas penyimbolan menuju fase sebagai anak yang beridentitas jenis kelamin tertentu secara utuh dan diliputi budaya bancaan dengan sedekah kepada tetangga dalam jumlah kecil berupa kudapan atau makanan. Tradisi menindik diilhami nadzar Nabi Ibrahim As ketika beristri Siti Saroh tidak dikaruniai anak. Nabi Ibrahim menikah kedua dengan Siti Hajar dan bernadzar, jika dikaruniai anak laki-laki akan dijadikan kurban dan jika dikaruniai anak perempuan akan menindik kedua telinga, memotong ari-ari, dan mengkhitannya. Akhirnya lahirlah Ismail As dan dikurbankan, oleh Allah Nabi Ismail digantikan dengan domba dari surga.
Prosesi menindik menggunakan alat tradisional dan perangkat modern, seperti jarum jahit (untuk melubangi), minyak alkohol (mempermudah tembusnya pelubangan), benang (menduduki posisi anting sementara sebelum anting dipermanenkan di telinga), kunir dan bawang merah (langkah awal menetralisir agar tidak terjadi infeksi).
d.        Tedhak siten
Tedhak siten, dhun-dhunan, mudhun lemah adalah upacara penghormatan kepada bayi menuju fase kehidupannya berupa menginjakkan kaki pertama sebelum jalan (menapak) secara sempurna. Tedhak bermakna dekat dan siten sinonim dengan kata dari bahasa Jawa ‘siti’ yang bermakna tanah. Prosesi awal dalam meraih fase hidup tersebut, oleh orang tua dan keluarganya disongsong dengan doa.
3.        Selametan perkawinan
Termasuk selametan perkawinan dalan tradisi Jawa adalah perkawinan punjen. Kata ‘punjen’ bermakna terakhir atau dipanggul yakni sebagai bentuk ungkapan yang menyatakan tanggungjawab pada anak terakhir (bungsu) oleh orang tua berupa menikahkan atau strategi mengumpulkan anak yang telah dinikahkan (berkeluarga) oleh orang tuanya agar ikut menyaksikan perkawinan saudara mudanya. Perkawinan punjen atau tumplak punjen (tumpah), maksudnya menghadirkan keluarga yang tumpah-ruahndalam prosesi perkawinan, pungkasan, terakhir adalah perkawinan yang ditradisikan secara khas karena yang dinikahkan adalah anak terakhir (laki-laki atau perempuan).
Perkawinan ini dalam pelaksanaan budaya terdapat perbedaan dengan perkawinan lazimnya yang non-punjen berupa prosesi yang dilaksanakan pasca ijab nikah berupa pertama-tama kedua orang tua si bungsu ke pelaminan, diikuti anak beserta keluarganya, dibentuklah setengah lingkaran yang dikitari seluruh anak dan keluarganya diawali anak paling tua dst., orang tua membawa piranti berupa (i) paso, (ii) tampah, (iii) pecut, (iv) sabit, (v) kendi, (vi) bunga setaman, (vii) cincin, (viii) janur kuning, (ix) jajan pasar, (x) kantong, dan (xi) cambuk yang dicambukkan (secara simbolis) kepada seluruh anaknya, petuah orang tua kepada seluruh anak, acara sungkeman seluruh anak kepada orang tua, dan anak bungsu kepada kakak-kakaknya secara berurutan, diakhiri dengan doa dan slametan.
4.        Selametan ulang tahun kematian tokoh
Selametan kematian tokoh agama (khaul) seperti khaul Sunan Kudus, Sunan Muria, Kyai Mutamakkin Pati, Pangeran Puger, dan lainnya yang perlu digali ulang oleh kita.
5.        Peringatan hari besar agama
6.        Simbol penghormatan leluhur
a.         Pari joto
Mitos pari joto berkaitan dengan kiprah Sunan Muria yang berperang melawan Dampoawang berasal dari China membawa perahu (sampan)atau kaal berisi bahan obat dan rempah-rempah. Karena pertempuran tersebut, kapal tenggelam dan dimenangkan Sunan Muria.
Penamaam ‘pari joto’ menurut sejarah lisan, dinamakan oleh Sunan Muria, ketika istrinya mengandung dalam usia 4 bulan (akhirnya melahirkan putri diberi nama Dewi Nawangsih), nyidam/ngidam untuk dijadikan rujak karena terasa asam-pahit (Jawa ; sepet) dan bertepatan ketika Sunan Muria mengarang tembang Kinanthi Pari Joto,sekarang hanya dikenal tembang Kinanthi. Nama tersebut diabadikan oleh pedagang asongan yang berada di seputar wisata Gunung Muria dan makam Sunan Muria. Sunan Muria mengutus santrinya untuk mencarikan obat penghilang mual dan ditemukan bunga atau buah yang diabadikan hingga sekarang dengan nama Parijoto. Jika diurai dari segi penanaman, dari dua kata yakni ‘Pari’ dan ‘Joto’ karena bunga tersebut menyerupai pari/padi dan ‘joto’ merupakan simplifikasi dari kata nyoto/nyata (khasiatnya).
b.        Kayu pakis haji
Pakis haji merupakan pohon yang dikategorikan berbiji terbuka dan termasuk marga cycas dalam genus cycadeae. Pohon ini dimitoskan ketika masyarakat Desa Colo, sekitar Gunung Muria, mendapat wabah serangan hama tikus di lahan persawahannya. Oleh Sunan Muria, pohon tersebut dijadikan media pengusir tikus. Jika dirasionalkan, potongan pohon tersebut jika memanjang bermotif menyerupai ular welang (bermotif batik, kecoklatan), sehingga jika dirasionalkan dapat menakut-nakuti tikus.[4]

B.       Kepercayaan Masyarakat Jawa
Kepercayaan berasal dari kata percaya, yang berarti yakin benar.[5] Dalam sejarah dunia Jawa, dahulu dikenal istilah kebatinan sebagai istilah untuk menyebut kepercayaan. Kronika atau rentetan historis kebatinan Jawa memang cukup panjang. Dapat diduga, sejak di Jawa ada penghuni, mereka juga telah memiliki kebatinan. Hanya saja dari waktu ke waktu, kebatinan Jawa dapat berubah aktivitasnya. Tegasnya, perjalanan kebatinan Jawa telah lama mewarnai hidup orang Jawa.
Semula kebatinan memang diresapi sebagai paham kejawen. Disebut kejawen karena nilai-nilai yang diyakini berasal dari kebatinan asli orang Jawa. Melalui pendalaman batin, orang Jawa berusaha untuk menangkap fenomena kehidupan. Pengalaman yang panjang itu tampaknya yang menempa kebatinan Jawa semakin berkembang.
Aliran kebatinan atau sekarang lebih dikenal dengan sebutan aliran kepercayaan, masih banyak pengikutnya. Bahkan akhir-akhir ini telah berubah nama lagi menjadi penghayat kepercayaan. Menurut Suwardi Endraswara, kebatinan dapat disebut juga sebagai sistem religi orang Jawa yang telah tua umurnya. Sistem kepercayaan atau sistem spiritual yang ada di Indonesia selain agama, aliran, faham, sekte, atau madzhab dari agama tersebut, serta bukan pula termasuk kepercayaan adat. Nama kebatinan lebih dikenal pada tahun 1950-an sampai 1960-an, muncul dalam berbagai bentuk gerakan atau perguruan kebatinan.[6]
Di dalam dunia Jawa juga dikenal istilah kejawen. Kejawen adalah suatu paham (isme). Menurut Suwardi Endraswara, kejawen (Javaisme) merupakan sebuah tradisi yang hidup di Jawa dalam usia panjang. Di dalamnya terdapat tradisi yang telah turun-temurun. Kejawen memuat nilai-nilai peninggalan leluhur, yang ditaati dan kalau ditinggalkan ada perasaan tidak enak. Kekayaan nilai kejawen tidak dapat diukur dari dunia material, melainkan dari aspek spiritual.
Ada beberapa gagasan tentang kejawen. Berbagai batasan kejawen, muaranya pada aspek nilai luhur, yang memuat pandangan hidup orang Jawa. Hal ini sejalan dengan pernyataan Pranoto bahwa kejawen adalah merupakan pandangan hidup dari orang Jawa yang sudah dimulai sejak zaman dahulu kala. Menurut beberapa ahli dan para pakar menyatakan bahwa kejawen sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu, dalam isyarat alam yang dinyatakan oleh Guru Ingkang Murbeng Dumadi melalui Panjenengan Dalem Kaki Semar. Kaki Semar pernah menyatakan lewat wisik : Kejawen iki ana wiwit mbiyen mula, nalikane wong nang Tanah Jawa isih sthithik lan sakdurunge wong manca teka wis ana Kapercayan nalika Tanah Jawa isih gung liwang liwung yang artinya kurang lebih adalah sebagai berikut bahwa Kejawen itu sudah ada semenjak dulu, ketika orang Jawa masih sedikit dan sebelum orang-orang dari luar datang, sudah ada Kepercayaan (kepada Tuhan Yang Maha Esa) ketika itu tanah Jawa masih banyak hutan belantaranya. Konon Jawa masih bernama Jawawut (nama tumbuhan sejenis padi), kejawen sudah tumbuh. Kejawen menjadi suatu keyakinan yang diikuti oleh para pendukungnnya, terutama orang Jawa dwipa, yang masih murni. Orang Jawa dwipa memiliki kejawen sebagai pandangan hidup, untuk menentukan arah hidup yang lebih tenteram. Karena merupakan suatu pandangan hidup dari suatu masyarakat makaa pada dasarnya kejawen adalah sesuatu yang dapat dipelajari dan juga merupakan pengetahuan yang dapat digali sumber asal muasalnya.
Menurut Pranoto kejawen itu bukan agama, melainkan sebuah aturan (paugeran). Suwardi Endraswara juga sependapat dengan hal ini, memang kejawen itu suatu  paugeran dan nilai serta tradisi. Ada tiga konsep paugeran kejawen, yaitu :
1.        Tentang hidup (urip), ada yang menghidupkan.
2.        Tidak menyakiti orang lain (tepa slira).
3.        Tidak memaksakan orang lain harus seperti dirinya.
Ketiga paugeran ini tampaknya bersendikan pada prinsip hidup yang dapat menentramkan suasana, baik dirinya maupun orang lain.
Kejawen tidak sekedar kultur, melainkan lebih ke arah keyakinan. Sebenarnya, inti kejawen pada ajaran kebatinan Jawa. Di dalamnya jelas sarat dengan nilai-nilai agama Jawa. Maka mempelajari kejawen sama halnya juga menyelami agama Jawa. Bahkan kalau mau terus terang sendi-sendi agama Jawa itu tidak lain kejawen. Kejawen yang membentuk nuansa keagamaan Jawa menjadi khas, karena selalu memperhatikan orang lain. Kejawen senantiasa mengukur diri, sebelum mengukur orang lain.
Poros kejawen adalah mistik. Mistik merupakan jalan lurus bagi agama Jawa. Keterkaitan antara kejawen, kebatinan¸ kepercayaan, mistik, dan agama Jawa tidak dapat dipisah-pisahkan. Bahkan beberapa istilah itu sering tumpang tindih penggunaannya dalam masyarakat. Dari pandangan Beatty yang cukup panjang lebar membahas kejawen sebagai salah satu sisi agama Jawa, nampak jelas bahwa di dalamnya terdapat keunikan. Suwardi Endraswara menyatakan bahwa kejawen sebagai ruh agama Jawa.[7]

C.       Etika Orang Jawa
Sebuah pernyataan Mulder tentang pergeseran etika Jawa memang cukup memprihatinkan. Dia yang secara kebetulan mempelajari kejawen, sempat melontarkan tesis bahwa masyarakat Jawa terkosongkan dari kandungan moral (emptied of moral content). Masyarakat Jawa yang telah masa yang steril terhadap moral. Ini merupakan gejala malaise kebudayaan. Malaise adalah kondisi yang tak enak atau gundah terhadap budaya.
Malaise budaya (moral) berarti orang Jawa sedang ada proses pergeseran etika yang luar biasa. Hal ini memang sulit dipungkiri, karena di Jawa sedang terjadi tawar menawar budaya. Budaya lain baik yang mendukung maupun yang meracuni, tetap menggeser sikap dan perilaku. Budaya konsumtitisme materialisme individualisme dan isme-isme lain lain selalu menerjang kehidupan orang Jawa akibatnya etika Jawa yang dulunya amat luhur mulai kehilangan nyalinya. Hal ini tak perlu ditangisi, karena proses perubahan etika itu harus terjadi. Karenanya, tak mengherankan jika kelak muncul etika Jawa yang asli dan juga etika Jawa tiruan (yang terpengaruh).
Magnis Suseno memberi batasan, etika Jawa adalah keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan untuk mengetahui bagaimana mereka menjalankan hidupnya. Kekhasan hidup Jawa adalah seperti dikemukakan dalam Serat Wedhatama yakni suatu tindakan baru bernilai moral, kalau mendukung dan menjamin keselarasan umum. Dengan kata lain etika Jawa lebih memperhatikan dimensi  kemanusiaan dan kesusilaan. Kesusilaan adalah masalah nilai yang lekat dengan kodrat manusia.
a.         Etika bagi Wong Gedhe
Etika raja menggambarkan sikap dan perilaku raja sebagai penguasa. Raja harus memiliki 8 sikap yang dikenal dengan istilah Asthabrata, yakni watak delapan dewa. Watak delapan dewa ialah: (1) Endra. Menurunkan keturunan, merata, (2) Yama, menghukum orang yang berdosa, (3) Surya, berhati-hati, pelan-pelan, agar tidak mengalami kesulitan, (4) Candra, baik jika dilihat, banyak tawa, manis, (5) Bayu, mengintai segala perilaku, (6) Kuwera, bersikap asih, memberikan pakaian indah,  tidak semena-mena, (7) Baruna, menghakimi durjana, teliti dalam mengadili, (8) Brama, membakar yang tidak berbuat baik. Etika lain bagi seorang raja, ialah bahwa seorang raja itu harus mengetahui untung dan celaka atau nasib rakyatnya. Bila raja menjatuhkan hukuman, maka hukuman harus sepadan dengan kesalahan dan tidak memandang kedudukan terhukum.
Pihak atasan (wong gedhe) juga perlu mentaati etika, antara lain: (a) selalu bersikap prihatin, (b) mengutamakan laku, (c) mencegah hawa nafsu dengan bertapa, dan (d) selalu menyenangkan sesama hidup. Dari pesan ini terkandung makna simbolik bahwa seorang pemimpin harus bisa menjadi suri tauladan. Pimpinan harus ing ngrasa sung tuladha bagi bawahan-bawahannya. Pesan filosofi yang termuat dalam penafsiran di atas adalah bahwa pimpinan adalah badaling Hyang widhi. Pimpinan wajib membudidayakan etika saling pengertian dengan bawahan, agar bot-repot negara bisa diatasi. Ini semua akan terwujud jika terjadi Manunggaling Kawula Gusti.
b.        Etika bagi wong cilik
Alam kaitannya hubungan sosial antara bawahan (abdi) kepada raja (wong gedhe), memilki etika khas. Jika bawahan berhasil menjalankan etika termaksud akan mendapatkan kemuliaan hidup. Etika tersebut meliputi bawahan harus menjalankan: (a) mengikuti wiradat (upaya sendiri), mengikuti ombyaking kahanan (perkembangan zaman) atau situasi dan kondisi, (b) rajin bekerja, (c) membantu menjaga kententraman negara, (d) menjaga negara agar tidak rugi, (e) ikut menjaga negara jika dalam bahaya, (f) jangan sampai ikhlas jika negara dirusak orang lain.
Seorang yang akan mengabdi, agar selamat sebaiknya : jangan mengikuti kata-kata lama yang tidak baik, dengan teman jangan angkuh, jangan enggan bekerja, jangan mudah sakit hati jika diperingati atasan dan jangan sampai berbalik memarahi sesama teman. Calon abdi (termasuk calon apa saja) agar dalam mencapai cita-cita dilandasi laku yaitu dengan sembah raga, cipta, jiwa, dan rasa. Sembah raga adalah laku yang sering disebut sarengat, dalam melaksanakan harus dengan jalan yang benar, dengan tingkatan-tingkatan yang tepat, tekun dan ajeg. Sembah cipta adalah disebut dengan tarekat, yaitu menyembah kapada Tuhan. Penyuciannya dengan membersihkan hati dengan cara: tata (teratur), titi (teliti), ngati-ati (berhati-hati), tetep (ajeg), telaten (rajin), dan atul (terbiasa). Sembah jiwa merupakan laku batin. Penyuciannya harus awas (waspada) dan emut (ingat). Sembah rasa yaitu laku yang dapat mencapai rasa sejati. Ia harus bisa merasakan hidup ini. Pelaksanaannya dengan kesentosaan batin. Dengan sembah tersebut calon abdi akan berhasil menjadi yang sejati.
Etika mengabdi kepada raja, jika ditaati akan menyebabkan seorang abdi mudah naik pangkat. Hal ini seperti diterakan dalam Serat Panitisastra, “kalawan wong wus limpad wredining, sastra iku ngresepaken manah, ing raja glis pangundange”. Artinya apabila bawahan tahu sastra (etika) akan dianggap memiliki kelebihan di hadapan raja. Bawahan tersebut akan diangkat kedudukannya. Itulah sebabnya, cara duduk, cara kerja, keberanian, dan segala kepandaiannya akan dipertimbangkan oleh raja. Itulah sebabnya, apapun yang menjadi aturan raja hendaknya ditaati karena raja adalah wakil Tuhan. Bawahan juga harus bersikap jujur di hadapan raja. Kalaupun harus dibunuh oleh raja karena dipersalahkan atas kejujurannya, ia akan masuk surga.
c.         Etika anak dan istri
Seorang anak diharapkan berpegang pada etika, antara lain: (a) ingat (eling) terhadap perjuangan leluhurnya (ayahnya) dan percaya diri, (b) mendo’akan anak-ananknya, semoga anaknya bisa meneruskan perjuangan orangtuanya, (c) memberikan pertimbangan tentang pernikahan anaknya, yani harus mendapatkan jodoh yang seimbang kedudukannya, (d) harus memiliki rumah atas ushanya sendiri, (e) harus memiliki kedudukan yang pasti, (f) sudah mempunyai kebiwaan yang besar, (g) hendaknya bersikap narima ing pandum, menerima pemberian Tuhan denga ikhlas dan (h) selalu bersyukur.
Orang tua menjadi pimpinan dari anak-anaknya, karena itu pesan-pesan orang tua bagi anak sangat diperlukan. Dalam kaitan ini, orang tua memiliki falsafah sebagai sembur-sembur adas, siram-siram bayem. Maksudnya menjadi penyejuk anak-anaknya, karena petuah dan petunjuk yang mereka berikan. Pesan-pesan itu banyak terkait dengan masalah-masalah etika kehidupan dan biasanya disampaikan dalam bentuk wewaler (larangan), agar hidup anak-anaknya selamat. Diantara pesan itu adalah: jangan sampai terkecoh, jangan malu, jangan berbuat rusuh, jangan berbuat jahat terhadap waraga, jangan membuat marah orang tua.
Orang tua mempunyai tanggungjawab dalam mardi siwi (mendidik dan mendewasakan anak). Ajaran yang disampaikan adalah tentang kehidupan. Anak hendaknya bisa memegang ilmu tasawuf dan hakikat hidup. Dalam konteks dijelaskan bahwa anak terutama pemuda, hendaknya menguasai ilmu ghaib yang sungguh-sungguh, jangan sampai hanya seperti boreh (bunga harum) hanya diluar daging saja pemakaiannya. Artinya, jika ada bahaya tidak berani menghadapi. Itulah sebabnya anak jangan malu-malu bertanya kepada para ahli tentang ilmu kehidupan. Hakikat kebenaran ilmu itu tidak harus dimiliki orang yang lebih tua, bisa jadi juga dimiliki anak muda, karena itu jangan segan bertanya.
Orang tua harus bertindak bijaksana memberi petunjuk agar anaknya kelak selamat. Orang tua sebagai pemimpin bertugas ngentas pitulus (membesarkan dan mendewasakan anak). Ia sebagai perantara hidup harus mampu mengemban amanat untuk membimbing anaknya menjadi ‘manungsa sejati’.
Etika bagi wanita ada beberapa hal, baik dalam hubungan masyarakat secara umum maupun dalam keluarga. Etika dalam masyarakat umum yaitu berhati-hati, sikap hemat, menjaga kehormatan, segala perilaku harus dipikirkan dan dirahkan ke hal yang baik. Hubungan denga suami hendaknya; rajin, menghindari perilaku cacat, jangan menurutkan keinginan pribadi, mempertimbangkan berbagai hal.
Wanita bisa menjadi pemimpin, setidaknya menggantikan suami bila sedang tida ada di rumah. Ada 3 hal kewajiban istri yang utama yaitu wedi, gemi, dan gumati. Wedi (takut) artinya jangan menyangkal pembicaraan atau menolak suruhan suami, gemi (hemat) artinya jangan boros, gumati (setia) artinya cinta kepada semua yang disukai suami dan menyediakannya.
d.        Etika generasi muda dan pendeta
Generasi muda yang akan mencapai kamukten (cita-cita tinggi), berpangkat, hendaknya sabar. Jangan nggege mangsa ibaratnya seperti mengharapkan buah durian, jika telah masak, akan jatuh sendiri dan enak rasanya. Keinginan demikian sangatlah hina, apalagi kalau ingin cari pujian. Orang lain akan memandang mereka justru rendah, orang yang telah asih bisa jadi berkurang respeknya. Akhirnya pada suatu saat generasi muda tadi akan merasa menyesal terhadap sikap dan perbuatannya.
Gambaran demikian terkandung pesan filosofi bahwa kemuliaan hidup itu dirangsang tuna ginayuh luput. Artinya, jika belum menjadi pepinta (takdirnya), sulit dikejar dalam ungkapan Jawa, dikemukakan siji pati loro jodho lan telu tiba-tiba ning wahyu, ihwal wahyu ini sulit diburu. Itulah sebabnya, generasi muda harus tahu diri, bisa mawas diri jika ingin bercita-cita. Mengejar cita-cita boleh, namun dilarang mencari ‘jalan pintas’ yang tidak dibenarkan oleh aturan.
Generasi muda yang ingin menjadi pimpinan, hendaknya harus sanggup melaksanakan kewajiban. Modal untuk menjadi pimpinan bukanlah berdukun, dengan persyaratan yang tak rasional, minta berkah kepada pohon dan arca. Modal utama adalah selalu rajin, berusaha keras meningkatkan ilmu pengetahuan, dan setia terhadap kewajiban. Generasi muda ibarat satriya luhur, karena itu untuk memperbanyak pengetahuan juga perlu berguru kepada pendeta yang tahu segala hal. Dalam memilih guru oun perlu hati-hati, jangan keliru pendeta yang aleman (minta sanjungan).
Seorang pendeta adalah guru. Dia akan menjadi sumber pertanyaan siapa saja. Pendeta ada yang mendapat julukan Pandhita Sastra Genyang, artinya pendeta yang benar-benar wignya (paham) tentang ngelmu. Dia kaya pengetahuan kebatinan dan tahu berbagai hal. Itulah sebabnya, setiap saat harus siap menjadi paran pitakon, artinya tempat orang menanyakan segala sesuatu.
Etika bagi seorang pendeta (resi) yaitu agar seorang pendeta memiliki 7 tingkah laku: paramasastra (tahu kesustraan), paramakawi (ahli bahasa kawi), mardibasa (pandai menggunakan kata), mardawalagu (bisa bersikap manis kepada sesama, awicarita (kaya cerita dan kepandaian), nawungkridha (tahu ilmu kesempurnaan), sambegana (selalu ingat). Kedudukan pendeta itu tinggi dan harus menguasai segala ilmu atau disebut mumpuni atau gambuh salwiring kawruh.
Di samping itu pendeta harus melaksanakan 8 hal, yaitu asih terhadap murid, tekun mngajar, tanpa pamrih, tanggap sasmita, dapat mengetahui apa yang diharapkan siswa, dapat menjawab segala pertanyaan siswa, tidak menganggap remeh kemampuan siswa, tidak gila sanungan. Pendeta yang memiliki derajat utama harus melaukan delapan hal, yakni berhati mulus tanpa cacat badankata-katanya halus, sikap baik, mantap, berjuang ke arah keadilan , cermat, berjuang demi kebaikan, tidak memiliki pakareman.[8]

D.       Pandangan Hidup Masyarakat Jawa
1.        Sikap hidup orang Jawa
Untuk memotret  sikap hidup orang jawa, dapat di nukilkan dari serat sasangka djati yang terdapat dalam 8 sikap dasar (hasta sila), terdiri dua pedoman, trisila dan pancasila. Trisila merupakan pokok yang harus dilaksanakan setiap hari berupa eling atau sadar, percaya (pracaya), dan setia perintah (mituhu). Sadar ialah selalu berbakti kepada Tuhan Yang Maha Tunggal yakni kesatuan tiga sifat, sukma kawekas (Allah Ta’ala), sukma sejati (Rosulullah), dan ruh suci (jiwa manusia sejati), ketiganya di sebut tripurusa. Sedangkan percaya  bermakna meyakini terhadap sukma sejati (guru suci), dan melaksanakan perintah-Nya yang di sampaikan melalui Rosul-Nya.
Untuk melaksanakan hal tersebut, manusia harus berwatak dan bertingkah laku terpuji (pancasila) berupa rela (rila), menerima nasib (narima), setia pada janji (temen), lapang dada (sabar), dan memiliki budi yang baik (berbudi luhur). Kelima sila tersebut menurut R.Soenarto memiliki jabaran sebagai berikut, rela adalah keikhlasan hati sewaktu menyerahkan segala miliknya, kekuasaanya, dan seluruh hasil karyanya kepada Tuhan dengan tulus ikhlas, sedangkan menerima nasib adalah tindakan memginginkan milik orang lain, tidak iri hati dengan kebahagian orang lain. Adapun setia pada janji maksudnya menepati  janji dalam hati atau yang di ucapkannya sendiri. Lapang dada bermakna kuat dari segala cobaan (momot), bukan berarti putus asa. Adapun berbudi luhur adalah cerminan perilaku yang menjalankan hidup dengan segala tabiat dan sifat yang mulia (kasih sayang, adil, tidak membedakan antar sesama) dan tanpa mengharap imbalan. Semua sikap hidup tersebut berpedoman hidup orang Jawa yakni ojo dumeh (perwujudan untuk tidak sombong dan untuk mawas diri) berupa ojo dumeh kuwoso, pinter, kuat lan gagah, menang, sedangkan ojo mumpung (perwujudan memanfaatkan kesempatan yang berlebihan). Perlu juga berpegang pada pantangan berperilaku yang tertuang dalam serat Wulang Reh karya Paku Buwana IV berupa adigang, adigung, adiguno. Adigang adalah wataak sombong karena mengandalkan kekayaan dan pangkat, sedangkan adigung adalah watak sombong karena mengandalkan kepandaian. Adapun Adiguna adalah watak sombong karena mengandalkan keberanian dan kepintaran bersilat lidah (berdebat). Solusi mengatasi  ketiga hal tersebut dengan watak rereh (sabar dan menekang diri), ririh (tidak tergesa-gesa dalam bertindak, mempunyai pertimbangan matang dalam bertindak  dan memutusakn), lan ngati-ngati (berhati-hati dalam bertindak). Ketiga hal tersebut disempurnakan dengan deduga (mempertimbangkan langkah) dan reringan (hati yakni di saat akan melakukan aktivitas).
Untuk mewujudkan hal tersebut diperkokoh dengan pegangan orang Jawa dalam, bertindak pertama, filsafat hidup yang religious berupa sesaji, ziarah kubur, membakar kemenyan dan selamatan. Kedua, misti dan etika hidup yang menjunjung tinggi moral dan derajat hidup berkaitan dengan kekuatan raga, seperti diam di tempat sepi, memakai keris, tombak dan jimat. Ketiga yang berhubungan dengan keluhuran, seperti tindakan terpuji, dan lima perbuatan (panca kreti) berupa trapsila, ukara, sastra, susila, dan karya.
2.        Filsafat hidup orang jawa
Sebelum memahami filsafat hidup perlu di dalami batasan berfilsafat. Pertama untuk mencari pengertian dari yang tertutup menuju kejelasan realita. Kedua, berpikir sedalam-dalamnya dengan penuh tanggung jawab secara dalam dan menguak setiap gejala yang akan ditelaah untuk mendapatkan simpulan umum dan rasional. Ketiga mencari kejelasan hukum kualitas atau hubungan sebab-akibat, dan keempat, menggunakaan metode untuk memecahkan masalah.
Berfilsafat diidentikan pandangan hidup dalam kehidupanya. Dalam konteks masyarakat Jawa, berfilsafat identik  dengan pandangan hidup yang disebut kejawen atau agama Jawa.[9]
3.        Pola pikir Jawa
Pola pikir Jawa merupakan bentuk penalaran yang lebih didasarkan lebih pada pengalaman dan penghayatan daripada sistematis rasional logisnya. Dari pengertian ini, jelas bahwa masyarakat Jawa memang memiliki dasar falsafah hidup yang mewarnai sikap dan perilakunya. Sejak manusia lahir akan keberadaannya di dunia, sejak saat itu pula ia mulai memikirkan akan tujuan hidupnya, kebenaran, kebaikan dan Tuhan. Dalam ajaran filsafat Jawa  mengenal konsep-konsep umum yakni : pertama, konsep pantheistik (kesatuan) yaitu manusia dan jagad raya merupakan percikan zat Ilahi, kedua konsep tentang manusia, ketiga, konsep mengenai perkembangan.
Perwujudan konsepsi demikian akan terlihat  dalam berbagai jenis filsafat Jawa yakni, pertama,  filsafah metafisika yakni bahwa Tuhan adalah merupakan sangkan paraning dumadi.  Kedua, epistemologi yaitu proses memperoleh pengetahuan dengan mencapai kesadaran cipta, rasa, dan karsa, dan kesadaran panca indra, kesadaran pribadi, dan kesadaran illahi. Ketiga, falsafah aksiologi terkait dengan nilai etik dan estetis. Kelima falsafah antropologia adalah Pola fikir yang berkisah tentang persoalan manusia. Keenam falsafah ontologis dan metafisika (filsafat tentang ada).
4.        Tuhan dalam pandangan hidup Jawa (Takdir : mati, jodoh, dan wahyu)
Masalah takdir orang Jawa menyebut dengan istilah “pepesthen, karsaning Allah, atau kodrat”. Oleh karena itu, orang Jawa selalu berasumsi bahwa abang birune urip (warna hidup) tergantung takdir. Peristiwa kehidupan yang menyangkut begja cilaka, lara kepenak, sugih mlarat, dan sebagainya adalah garis atau pepesthen. Atas dasar ini, orang Jawa menyikapi garis dengan pandangaan  mung saderma nglaakoni (sekedar menjalankan yang telah di tentukan) Tuhan.
Takdir Tuhan itu sudah di anggap pasti, tidak dapat di ubah.  Dalam pemikiran orang Jawa, takdir akan terkait dengan tiga hal, yaitu : siji pati, loro jodo, dan telu tibaning wahyu. Maksudnya pertama umur atau kematian, kedua jodoh, dan ketiga wahyu (nasib) telah ditentukan umur, jodoh, dan nasib adalah merupakaan kuasa Tuhan. Mati adalah hak mutlak tuhan yang tak dapat di ganggu gugat. Dalam hubungannya dengan takdir kematian, masyarakat Jawa juga percaya bahwa bila  dianiayaa hingga meninggal, kalau tidak bersalah akan mati sahid. Mati sahid adalah mati yang utama. Tak jauh berbeda dengan masalah mati, jodoh pun oleh orang Jawa di tanggapi sebagai hal yang istimewa. Jodoh sudah menjadi kepastian sulit di tawar-tawar. Begitu pula masalah nasib, termasuk di dalam harta kekayaan, orang Jawa selalu berprinsip nrima ing pandum (menerima pemberien tuhan) masyarakat Jawa mempercayai adanya kekayaan  yang ditakdirkan oleh Tuhan adalah sebuah jatah  manusia hendaknya bersyukur atas kekeyaan pemberian Tuhan itu.
Dapat disimpulkan bahwa orang Jawa percaya  bahwa segala sesuatu yang terjadi pada manusia itu merupakan kepastian Tuhan dengan mempertimbangkan ikhtiyar manusia. Tentang kepercayaan orang Jawa terhadap takdir, siapapun tidak dapat manghalangi. Ketentraman, kerajaan,  kerusakan suatu bangsa, kebahagiaan, dan sebainya telah di gariskan oleh tuhan.takdir ini tidak bisa dirubah maka maanusia harus sumarah, mendasarkan diri pada kehendak Tuhan, namun dengan demikian manusia berikhtiar. Kehadiran takdir tak membuat pribadi jawa menjadi fatalistick, tak mau berusaha dan bekerja, jelas tek demikian, fatalistic hanya di lakukan oleh orang yang berfrustasi dalam hidupnya,  orang Jawa justru menentang faham fatalistik.
Orang  Jawa  berpendapat bahwa manusia wajib berikhtiar, maksudnya dalam segala hal harus berusaha, manusia harus berusaha ketentuan ada di tangan Tuhan. Ikhtiyar dalam Jawa dinamakan kupiya (usaha) secara lahir dan batin. Penerimaan takdir perlu  disertai dengan watak eling (ingat). Oleh karena bagi orang yang ingat akan Tuhan dan selalu waspada, akan menyadari sepenuh hati  bahwa nasib yang diberikan  sudah menjadi takdirnya.
Orang Jawa  yang bertindak waspada, menurut serat sewaka karya  mas  Soemodirono  diibaratkan seperti hewan rayap, ketika ada  yang menggangu  ia  siap dan segera masuk ke liaangnya dan justru sebaliknya, seperti halnya kadal dia justru bersuara dan lari  jika ada orang lewat di dekatnya.[10]

IV.   KESIMPULAN
Masyarakat Jawa kaya akan tradisi. Hampir dalam setiap sendi-sendi kehidupannya, masyarakat Jawa amat kental dengan tradisi. Bahkan dalam proses kehidupan manusia, semuanya dilingkupi dengan tradisi. Dari dalam kandungan, kelahiran, pertumbuhan, perkawinan, hingga kematian, semuanya dibungkus dalam bingkai tradisi.
Dalam hal kepercayaan, masyarakat Jawa identik dengan kejawenannya. Kejawen memuat nilai-nilai peninggalan leluhur, yang ditaati dan kalau ditinggalkan ada perasaan tidak enak. Kekayaan nilai kejawen tidak dapat diukur dari dunia material, melainkan dari aspek spiritual.
Masyarakat Jawa juga merupakan masyarakat yang beretika. etika Jawa adalah keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan untuk mengetahui bagaimana mereka menjalankan hidupnya. Dunia Jawa begitu mengatur tingkah laku masyarakatnya, masing-masing memeliki etika sendiri-sendiri, dari mulai raja hingga rakyat jelata.
Masyarakat Jawa memiliki pedoman hidup yang diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyangnya. Masyarakat Jawa memiliki pola pikir dan falsafah hidup yang sarat akan makna. Falsafah-falsafah Jawa banyak yang diabadikan dalam sebuah karya seni yang kebanyakan dalam bentuk sastra yang disebut dengan serat.

V.      PENUTUP
Demikian makalah ini kami buat. Kami memohon maaf apabila di dalam penyusunan makalah ini masih tedapat banyak kekurangan dan kesalahan, karena kesempurnaan hanyalah milik-Nya, dan kami hanyalah manusia yang tidak pernah luput dari kekurangan dan kesalahan.




DAFTAR  PUSTAKA

Chafidh, M.Afnan  dan Asrori, A. Ma’ruf,Tradisi Islam, Cetakan IV,Tradisi Islam, Surabaya : Khalista, 2009.
Endraswara, Suwardi, Agama Jawa : Laku Batin menuju Sangkan Paran, Yogyakarta : Lembu Jawa,2011.
Endraswara, Suwardi, Falsafah Hidup Jawa, Cetakan IV, Yogyakarta : Cakrawala, 2012.
Endraswara, Suwardi, Kebatinan Jawa dan Jagad Mistik Kejawen, Yogyakarta : Lembu Jawa, Cetakan I, 2011.
Rosyid, Moh, Kebudayaan dan Pendidikan, Cetakan I,Yogyakarta : STAIN Kudus, 2009.
Yuwono, Trisno, Pius Abdullah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis, Surabaya : Arkola, 1994.




















[1] Trisno Yuwono dan Pius Abdullah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis, Surabaya : Arkola, 1994, hlm. 433.
[2] Moh. Rosyid, Kebudayaan dan Pendidikan, Cetakan I, Yogyakarta : STAIN Kudus, 2009, hlm. 103-105.
[3] M.Afnan Chafidh dan A.Ma’ruf Asrori, Tradisi Islam, Cetakan IV, Surabaya : Khalista, 2009, hlm. 6-8.
[4] Moh.Rosyid, Kebudayaan dan Pendidikan, Cetakan I, Yogyakarta : STAIN Kudus, 2009, hlm. 106-109.
[5] Trisno Yuwono dan Pius Abdullah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis, Surabaya : Arkola, 1994, hlm. 322.
[6] Suwardi Endraswara, Kebatinan Jawa dan Jagad Mistik Kejawen, Yogyakarta : Lembu Jawa, Cetakan I, 2011, hlm. 13-14.
[7] Suwardi Endraswara, Agama Jawa : Laku Batin menuju Sangkan Paran, Yogyakarta : Lembu Jawa, Cetakan I, 2012, hlm. 19-22.
[8] Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa, Cetakan IV, Yogyakarta : Cakrawala, 2012, hlm. 137-155.
[9] Moh.Rosyid, Kebudayaan dan Pendidikan, Cetakan I, Yogyakarta : STAIN Kudus, 2009, hlm. 86-89.
[10] Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa, Cetakan  IV, Yogyakarta : Cakrawala, 2012, hlm. 43-64.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar